Minggu, 02 Oktober 2011

KRUSTACEA II KEPITING BAKAU Scylla serrata


                                                                                                                                                             I.     PENDAHULUAN
1.1.             Latar belakang
Indonesia terdiri dari kurang lebih 70 % perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan tawar yang kaya akan berbagai jenis sumberdaya hayati dan liingkungan potensial. Ditinjau dari segi perikanan darat di indonesia yang sangat penting untuk dibahas dari segi biologi perikanan yaitu studi mengenai ikan sebagai sumberdaya yang dapat dipanen oleh manusia, yang mencakup biologi ikan, dimana penekanannya terhadap spesies penting sebagai sunberdaya. Tujuannya agar semua orang mengerti dan memahami sunberdaya perikanan serta bagaimana pemanfaatan sumberdaya tersebut secara optimum dan membuat rekomendasi dalam pemanfaatan serta perbaikannya.
Pentingnya pengamatan mengenai kajian jenis dan karakteristik sumberdaya perikanan dalam dunia perikanan agar sumber hayati perairan dapat dikelola secara baik dan tepat, dalam arti usaha menggali dan memanfaatkannya harus dilakukan secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya dan jangan sampai terjadi penangkapan yang berlebihan.
Pengelolahan sumberdaya hayati perairan adalah semua usaha yang dilakukan guna menggali dan memanfaatkan sumber hayati perairan itu untuk kepentinhan  manusia. Usaha ini harus didasarkan atas kemampuan alam, tidak digali secara berlebihan, sehingga kelestariannya dapat terus dipertahankan.
Dalam dunia pangan dewasa ini, banyak terdapat produk-produk hasil olahan yang terbuat dari sumberdaya perikanan. Khusunya di negara Indonesia terlihat dengan jelas bahwa pemanfaatan hasil perikanan sangatlah maksimal. Hal ini terlihat dari makanan-makanan tradisional yang banyak terbuat dari hasil laut.
1.2.             Tujuan dan Manfaat
Laporan ini bertujuan untuk Mendeskripsikan sumberdaya perikanan ekonomis di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya dilihat dari potensi, eksploitasi, produksi, pemanfaatan dan alternatif pengembangan produksi pemanfaatan kepitng bakau.

                                                                                                                 II.            KARAKTERISTIK SUMBERDAYA

2.1.            SISTEMATIKA
Klasifikasi kepiting bakau Scylla serrta menurut (Kasry, 1996) adalah sebagai berikut:
Filum               : Arthropoda
Kelas               : Crustaceae
Sub kelas         : Malacostraca
Ordo                : Decapoda
Sub ordo         : Branchiura
Famili              : Portunidae
Sub famili        : Lipilinae
Genus              : Scylla
Spesies            : Scylla serrata
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber : Kasry, 1996)
2.2.            MORFOLOGI DAN ANATOMI
Deskripsi kepiting bakau menurut Rosmaniar (2008), Famili portumudae merupakan famili kepiting bakau yang mempunyai lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipi dan melebar pada ruas terakhir.

karapas pipi atau cagak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tapi anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital, bergigi dua sampai enam buah, bersungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung. Terutama ruas terakhir, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan.









Gambar 2. Tubuh bagian dorsal kepiting dewasa (Sumber: Quinitio & Parado, 2003).








Gambar 3. Tubuh bagian ventral kepiting dewasa (Sumber: www.portofpeninsula.org, 1997).
Kepiting bakau Scylla serrta memiliki bentuk morfologi yang bergerigi, serta memiliki karapas dengan empat gigi depan tumpul dan setiap margin anterolateral memiliki sembilan gigi yang berukuran sama. Kepiting bakau memiliki capid yang kuat dan terdapat beberapa duri (Motoh 1979 dan Perry 2007).
Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit, kemudian baru dimakan (Shimek, 2008). Anatomi tubuh kepiting bagian dalam dapat dilihat pada Gambar 3.




 




Gambar 4. Anatomi tubuh bagian dalam dari kepiting dewasa (Sumber: Shimek, 2008).




2.3.            HABITAT DAN DISTRIBUSI
Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 9, dimana yang menjadi contoh pada gambar tersebut adalah kepiting kelapa. Sedangkan habitat dan penyebaran kepiting (dalam contoh kepiting merah Cancer magister) di estuary dan zona intertidal terlihat pada Gambar 10.   
Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 spesies kepiting yang dikelompokkan  ke dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi dengan telur-telur ikan.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari yang jantan (DPI & F, 2003).
Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di pantai dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan, misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan ke luar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji, 2002).

Gambar 5. Siklus hidup, habitat dan penyebaran kepiting merah (Cancer magister) di wilayah estuaria dan zona intertidal (Sumber: www.shim.bc.ca, 2008).
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau dalam memnjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara, sungai atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak. Rosmaniar (2008) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke lautmenjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedangkan kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar mangrove atau paling jauh disekitar perairan pantai, yaitu di perairan berlumpur yang makanannya berlimpah.
Menurut Rosmaniar dalam kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebenarnya meliputi wilaya Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, pakistan, kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai, Selandia Baru dan Australia di Selatan.

2.4.             MAKAN DAN KEBIASAAN MAKAN
Dalam hutan mangrove biasanya kepiting besar menyerang kepiting yang lebih kecil, dan melumpuhkan dengan merusak umbai-umbai, kemudian merusak karapas menjadi potong-potongan dan mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan.  Menurut Arriola (1940) dalam Rosmaniar (2008) kepiting bakau adalah organisme pemakan segala  bangkai (Omnivorous – scavenger) dan pemakan sesama jenis (cannibal).
Kepiting bakau juga merupakan pemakan bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis  gastropoda dan crustacea (Rosmaniar, 2008). Selanjutnya menurut Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek makanannya. Menurut Rosmaniar (2008) sobekan-sobekan makanan tersebut dimasukan ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya.waktu makan kepiting bakau tidak tertentu, tetapi malam hari lebih aktif mencari makan dari pada siang hari karena kepiting tergolong hewan nokturnal yang aktif di malam hari.

2.5.             RUAYA
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau dalam memnjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara, sungai atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak. Rosmaniar (2008) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke lautmenjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedangkan kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar mangrove atau paling jauh disekitar perairan pantai, yaitu di perairan berlumpur yang makanannya berlimpah.

2.6.             PERANAN SUMBERDAYANDI EKOSISTEM

Kepitng sebagai keystone spesies atau arti lain Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain (Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).

Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai berikut:
1.            konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2.            meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;
3.            membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4.            penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi ikan-ikan karnivora.

2.7.             PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI
Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).  Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Daur hidup kepiting (Sumber: httpwww.nio.org.gif, 2008).








Gambar 7. Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) (Sumber: Davey, 2000).
Menurut Budiraharjo, et al (1991) dalam Rosmaniar (2008), pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Pada umur 12-14 bulan kepiting di anggap sudah dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah kepitinmg mampu menghasilkan jutaan telur.
Menurut Boer, et al (1993), pertumbuhan kepiting bakau terjadi beberapa fase antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakuan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini dia mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian keperairan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Suryani M, 2007)..
Selain itu kepiting ini juga kepiting ini mengalami beberapa proses pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut pada masa pemijahan sampai megalova.

2.8.             PEMANFAATAN SUMBERDAYA
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan jenis yang dominan di Indonesia. Spesies ini merupakan salah satu diantara komoditas perikanan yang banyak diminati oleh masyarakat baik dari kalangan pembudidaya tambak, pengusaha maupun konsumen. Daging kepiting tersebut mengandung protein 65,72%, lemak 0,83%, abu 7,5% dan kadar air 9,9% (Rosmaniar, 2008).
Menurut Samonte dan Agbayani (1992) serta Perry (2006), kepiting bakau memiliki nilai ekonomis penting baik sebagai panen saham dan produk-produk perikanan komersial. Serta mendatangkan keuntungan bagi masyarakat di daerah-daerah di mana populasi kepiting bakau hidup.
Kepiting bakau (scylla serrata) merupakan satu diantara komoditas laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia. Sangat digemari konsumen lokal maupun luar negeri dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ekspor kepiting meningkat rata-rata 14,06%. Komoditas ini mempunyai kandungan nilai gizi tinggi, protein dan lemak, bahkan pada telur kepiting kandungan proteinnya sangat tinggi, yaitu sebesar 88,55%. Dengan nilai komposisi demikian, komoditas ini sangat digemari konsumen luar negeri dan menjadi salah satu makanan paling bergengsi di kalangan mereka. Amerika Serikat merupakan negara penyerap hampir 55% produksi kepiting dunia, sedang permintaan lainnya datang dari negara-negara di kawasan Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan (Ditjen Perikanan, 2000) dalam (Putranto Arie Dwi, 2007).
Salah satu cara peningkatan nilai produksi dari kepiting bakau adalah menjadikan spesies tersebut sebagai hewan yang bercangkang lunak . Scylla serrata adalah kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting dalam fase ini mempunyai keunggulan yaitu mempunyai cangkang yang lunak (soft carapace) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Berkaitan dengan potensi nilai ekonomis yang menjanjikan dari kepiting bakau tersebut, maka perlu diperhatikan kecepatan pertumbuhan dari kepiting bakau jenis Scylla serrata. Kecepatan pertumbuhan berkaitan erat dengan kecepatan ganti kulit dikarenakan setiap pergantian fase juga diikuti dengan pergantian kulit (Kurnia F, 2010).
Produksi hasil tangkapan di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2007. Disini dilihat bahwa dari tahun ke tahun produksi penangkapan kepiting bakau meningkat. Sedangkan mengalami penurunan pada tahun 2005, hal ini mungkin dikarenakan iklim dan cuaca yang mempengaruhi sehingga hasil tangkapan yang dihasilkan menurun (DKP, 2008).
 










Gambar 8: Produksi hasil tangkapan kepiting bakau di Indonesia ( sumber: DKP, 2008).
Produksi dari hasil budidaya kepiting bakau sangatlah potensial. Hal ini dapat dilihat dari diagram budidaya kepiting dan rajungan, dimana terlihat jelas bahwa dari tahun 1998 sampai tahun 2007 produksi budidaya kepiting bakau lebih meningkat jika dibandingkan dengan rajungan. Hal ini di karenakan karena permintaan terhadap kepiting sangat berpotensi. Pada tahun 1998  produksi hasil budidaya kepiting menurun, hal ini mungkin dikarenakan kurangnya penyadaran masyarakat akan potensi kepiting bakau yang memiliiki nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan pada tahun 2002 peningkatan hasil budidaya sangat tinggi, mungkin di karenakan permintaan pasar semakin meningkat (DKP, 2008).
 








Gambar 9: produksi hasil budidaya kepiting dan rajungan (sumber: DKP, 2008).


Gambar 9: Produksi budidaya kepiting dan rajungan (DKP, 2008).

Gambar 10: Global Aquaculture production and cuptur production Scylla serrata (Sumber: FAO fishery statistic, 2000).


Dari data produksi hasil budidaya dan penangkapan di dunia, terlihat bahwa yang sangat dominan dalam produksi kepiting yaitu dalam skala budidaya. Hal in dapat dilihat bahwa pada tahun 2000 budidaya kepiting bakau sangat meningkat, ini mungkin dikarenakan permintaan pasar global sangat pesat. Sedangkan produksi hasil tangkapan dari alam sangat berfluktuasi, hal ini mungkin dikarenakan adanya perubahan cuaca dan iklim, serta ketersediaan kepiring di alam terbatas.

2.9.             PENANGKAPAN
Alat tangkap yang sering di gunakan masyarakat nelayan masi sangatlah tradisional yakni jenis alat tangkap tombak dan panah. Di perairan pesisir Maluku biasanya menggunakan jenis alat tangkap tombak serta menggunakan perahu motor tempel. Selain itu juga nelayan di Indonesia sering menggunakan jaring insang untuk menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove (O-fish, 2010).
Menurut Zairon (2010) alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah alat tangkap bubu. Sedangkan Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam penagkapan kepitng bakau yaitu alat yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama. Berbagai model perangkap kepiting dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 11. Berbagai bentuk perangkap kepiting (Sumber: http://www.fao.org, 2008)












                                                                                                                 III.            PEMANFAATAN SUMBERDAYA
Menurut Rosmaniar dalam kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebenarnya meliputi wilaya Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, pakistan, kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai, Selandia Baru dan Australia di Selatan.
Gambar 12: peta penyebaran dan distribusi kepiting bakau (Sumber: GBIF_OBIS.http://www.sealifebase.org)
Rosmaniar (2008) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke lautmenjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedangkan kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar mangrove atau paling jauh disekitar perairan pantai, yaitu di perairan berlumpur yang makanannya berlimpah.
Alat tangkap yang sering di gunakan masyarakat nelayan masi sangatlah tradisional yakni jenis alat tangkap tombak dan panah. Di perairan pesisir Maluku biasanya menggunakan jenis alat tangkap tombak serta menggunakan perahu motor tempel (O-fish, 2010). Menurut Zairon (2010) alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah alat tangkap bubu. Sedangkan Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam penagkapan kepitng bakau yaitu alat yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama. Berbagai model perangkap kepiting.
Teknik penangkapan di Indonesia juga sangatlah sederhana. Dengan cara berburu di tepian-tepian mangrve atau menggunakan jaring insang untuk menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove (O-fish, 2010).
Menurut Samonte dan Agbayani (1992) serta Perry (2006), kepiting bakau memiliki nilai ekonomis penting baik sebagai panen saham dan produk-produk perikanan komersial. Serta mendatangkan keuntungan bagi masyarakat di daerah-daerah di mana populasi kepiting bakau hidup. Harga kepiting di pasaran dapat mencapai 5-10 US $ /kg (DKP, 2008).
Negara yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus eksportir kepiting mengaku hanya sanggup mengirim 20 ton kepiting per bulan ke Korea, padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan (Anonim, 2010).










                                                                              IV.            PENANGANAN, PENGOLAHAN DAN PEMASARAN

4.1.            PENANGANAN SUMBERDAYA
Kepiting juga mudah dijual karena rasa dagingnya yang sangat gurih. Kelebihan lainnya, pangangkutan kepiting bakau cukup gampang karena dapat dibawa dalam keadaan hidup. Akan tetapi, selama ini kegiatan budidayanya masih terfokus pada usaha pembesaran, penggemukan dan produksi kepiting bertelur dengan sistem keramba di tambak yang kesemuanya menghasilkan kepiting dengan karapas keras (Karim M, 2009).
Standar mutu rajungan yang biasanya digunakan di perusahaan pengalengan kepiting bakau adalah kepiting  dalam keadaan hidup atau segar, tidak kopong dan tidak dalam keadaan moulting, tidak terdapat bau asing (bau minyak tanah, solar, amonia, dan lain-lain), daging tidak dalam keadaan lunak atau hancur. Kepiting bakau medah membusuk, untuk itu diperlukan penangan yang baik dari awal penangkapan sampai pada tangan konsumen dalam keadaan segar (Purwaningsi S, DKK. 2005).

4.2.             PENGOLAHAN SUMBERDAYA
Jenis-jenis pengolahan kepiting bakau yang kebanyakan masi merupakan makanan tradisional diantaranya: prekedel kepiting, kepiting rica-rica. Selain itu juga produk perikanan yang diolah dari cangkang kepiting yang menghasilkan khitin dan kitosan yang dapat bermanfaat bagi kesehatan  (Suryani M, 2007).




 
Gambar 13. Olahan kepiting rica-rica dan prekedel kepitng (Anonim, 2010).

Gambar 14 : Olahan kepiting kaleng, crab cake, dan panko crab (Anonim, 2010).
Dalam dunia perdagangan, kepiting tersebut mempunyai saham sebagai komoditi ekspor di luar minyak. Di Indonesia produksi kepitng bakau di Pulau Enggano merupakan pemasok terbesar kepiting bakau untuk memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat. Selain untuk memenuhi permintaan pasar lokal kepiting bakau ini juga diperuntukkan guna memenuhi permintaan pasar di beberapa kota lain diantaranya Jakarta, Lampung, Batam dan Palembang (Suryani M, 2007).
Dari segi produksi, kepiting lunak memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan kepiting biasa pada ukuran yang sama. Oleh sebab itu, produksi kepiting lunak cukup potensial untuk dikembangkan. Dari segi produksi, kepiting lunak memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan kepiting biasa (kepiting dengan karapaks keras) pada ukuran yang sama. Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai 8.40 U$ – 9.70 U$ per kg sedangkan LB dihargai 6.10 U$ – 9.00 U$ per kg. Ukuran >1000g (Super crab) harganya 10.5 U$ per kg. Oleh sebab itu, produksi kepiting lunak cukup menjanjikan. Kelebihan kepiting lunak antara lain: tekstur badan (karapaks dan daging) yang lunak, sehingga hampir semua bisa dikonsumsi, siklus produksi tidak terlalu lama, teknik budidayanya mudah dan biaya investasi kecil. (Karim M, 2009).
Menurut Zairon (2010) Pemanfaatan Kepiting dan rajungan antara lain: Kepiting segar, kepiting beku, kepiting kaleng, dan di Eropa dan Amerika di olah sebagai crab cake, panko crab dan kepiting berkulit empuk.











                                                                                                                              V.            KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.            KESIMPULAN
Berdasarkan data-data yang di peroleh maka dapat disimpulkan bahwa: kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting, serta memiliki nilai gizi yang dapat bermanfaat bagi kesehatan dan dapat menambah penghasilan bagi masyarakat di perairan pesisir pantai.

5.2.            SARAN
Agar di lakukan penelitihan lebih luas terhadap semua jenis kepiting bakau dan jenis kepiting lainnya. Serta lebih memperhatikan lingkungan habitatnya (mangrove) agar tidak berpengaruh buruk terhadap spesias yang akan mengakibatkan kepunahan.




















DAFTAR PUSTAKA
Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).
DPI & F. 2003. Fish Guide. Saltwater, Freshwater and Noxious Species, (Online), The Great Outdoors Publications, Brisbane, (www2.dpi.qld.gov.au, diakses 13 Mei 2008).
DPI & F. 2005. Fisheries Long Term Monitoring Program Sampling Protocol Mud Crab: (2000 – 2005), (Online), Department of Primary Industries and Fisheries, (http://www2.dpi.qld.gov.au, diakses 14 Mei 2008).
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Hsieh, H.L. 2004. Towards Wetland Restoration for the "Wetland Three Musketeers”, A Horseshoe Crab, A Fiddler Crab, and A Coconut Crab, (Online), Research Center for Biodiversity, Academia Sinica, Taipei, (biodiv.sinica.edu.tw, diakses 14 Mei 2008).
Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April 2008).
Juwana,  S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
FAO Species Identifikasi dan Program Data (FAO / SIDP). Undated. Scylla serrata Species Identification Sheet. Spesies bertanggal Scylla. Serrata Lembar Identifikasi.
Kurnia F, 2010. Perbedaan Kecepatan Ganti Kulit Pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Soca Jantan Dan Betina Dengan Metode Pemotongan Capit Dan Kaki Jalan. Jurnal Moulting Kepiting Bakau.
Karim M. 2009. Produksi Kepiting Lunak Mata Pencaharian Alternatif. Staf Pengajar Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS.
Rosmaniar, 2008. Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [Tesis].
Samonte G.PB., dan Agbayani RF. 1992. 1992. Pond culture of mud crab ( Scylla serrata ) and economic analysis. Pond budaya kepiting bakau (Scylla serrata) dan analisis ekonomi. SEAFDEC Asian Aquaculture 14:3-5. SEAFDEC Asian Aquaculture 14:3-5. Available online .
Suryani M.  2007. Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata ) Dalam Ekosistem Mangrove Di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. [Tesis]
Purwaningsi S, DKK. 2005. Pengaruh Lama Pentimpanan Daging Rajungan Dan Keping Rebus Pada Suhu Kamar. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol VIII Nomor 1 Tahun 2005
MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.





























LAMPIRAN
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber : Kasry, 1996)




 




Gambar 4. Anatomi tubuh bagian dalam dari kepiting dewasa (Sumber: Shimek, 2008).




Gambar 7. Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) (Sumber: Davey, 2000).
 
Gambar 13. Olahan kepiting rica-rica dan prekedel kepitng (Anonim, 2010).

Gambar 14 : Olahan kepiting kaleng, crab cake, dan panko crab (Anonim, 2010).


                                                                                              

2 komentar:

  1. luar biasa bermanfaat
    pekenalkan saya ihsan mahasiswa dari universitas padjadjaran saya tertarik mengenai tulisan mbak dan saya kebetulan akan melakukan penelitian mengenai kepiting bakau scylla serrata untuk itu saya memohon bantuan kepada mbak agar dapat memberikan bahan atau data yang menunjang untuk penelitian saya dan bisa di emailkan k ihsan.hambali@rocketmail.com, besar harapan saya agar mbak bisa membantu saya dan terimakasih atas perhatiannya.

    BalasHapus
  2. Learn How to Play Baccarat at Baccarat Online
    Baccarat game is 실시간 바카라 사이트 위너바카라 a great way to play baccarat in online casinos. But the game has more than just a basic strategy, but a step-by-step

    BalasHapus